Masih Proses, Mohon Sabar :D
Sponsored By :HARIPURWANTO.

Kamis, 21 Juli 2011

REKAYASA WAJAH DENGAN MATEMATIKA



Peluru atau pecahan bom biasanya menjadi penyebab utama cedera pada wajah dan area mulut para korban perang, sipil ataupun militer. Kerusakan yang terjadi kadang begitu parah hingga menghancurkan tulang wajah.

Selama ini dokter bedah memanfaatkan transplantasi tulang untuk merekonstruksi rahang bawah serta jaringan lunak untuk memperbaiki bibir dan pipi. Namun banyak hambatan ketika mereka berusaha memulihkan pasien yang menderita cedera tengkorak dan wajah (craniofacial) berat.

Hal seperti itu juga bisa dialami oleh penderita kanker atau tumor otak. Kerusakan wajah seperti itu tak hanya mengganggu kondisi fisik, tapi juga psikis si pasien.

Apakah pasien bisa mendapatkan wajah normalnya kembali? Atau, ini yang lebih penting, apakah mereka akan memperoleh kembali kemampuan untuk bicara, bernapas, dan makan secara normal.

Menyusun kembali struktur tulang wajah seseorang adalah sebuah prosedur yang rumit. Dokter bedah harus membuat kerangka wajah dengan tulang dari jaringan analog, yaitu bagian lain tubuh yang hampir sama fungsinya, meski struktur dan asal jaringannya berbeda. Hal itu dilakukan untuk menjamin agar organ khusus yang bertanggung jawab atas peran vital, seperti bernapas, melihat, berkomunikasi, dan makan bisa berfungsi sebagaimana mestinya.

Prosedur itu bergantung pada pengalaman dan keahlian sang dokter. Sebab, tak ada struktur tulang yang analog, yang berfungsi sama dengan struktur tulang wajah manusia.

Glaucio Paulino, Direktur Program Mechanics of Materials di National Science Foundation, mencatat prosedur ini tidak selalu menghasilkan apa yang diharapkan.


"Bagian tengah wajah adalah bagian yang paling rumit dari tulang kerangka manusia," kata Paulino. "Yang membuat rekonstruksi lebih kompleks adalah bahwa tulang wajah rapuh, kecil, sangat khusus, dan terletak dalam wilayah yang sangat rentan terhadap kontaminasi bakteri."

Tulang wajah sangat unik. Jaringan tulang yang diekstrak dari bagian tubuh lain, seperti tulang lengan, tidak bisa memberikan hasil paling efektif. "Kondisi pasien mungkin bisa sedikit lebih baik, tapi wajahnya tetap cacat," ujar Paulino.

Namun kini para ahli bedah mencoba menggunakan pendekatan matematika untuk mengatasi masalah tersebut. Optimasi topologi dianggap sebagai alternatif paling masuk akal untuk mencapai pemulihan maksimal.

Optimasi topologi sebenarnya tak pernah digunakan dalam ruang operasi. Metode matematika ini menggunakan beban, tekanan yang diberikan terhadap sebuah area, dan kondisi pembatas atau batas spasial, untuk mengoptimalkan perencanaan sebuah struktur spesifik, seperti bangunan dan kendaraan.

Untuk memahami metode ini, bayangkan Anda membuat sebuah skema bangunan dan harus memutuskan di mana suatu material dapat diletakkan dan tempat mana yang tidak boleh diberi beban tambahan.

Anda juga dapat memberikan beban dan pendukung yang akan mempengaruhi bagian tertentu dari potongan material itu. Hasilnya adalah struktur optimal yang cocok dengan apa yang dibutuhkan.

Metode matematika ini biasa digunakan oleh para ilmuwan untuk merakit pesawat antariksa dan pesawat terbang. Sayap Airbus 380, misalnya, dirancang dengan menerapkan metode optimasi topologi.

Pada saat ini, optimasi topologi mulai dilirik para peneliti dan insinyur yang ingin menerapkan metode itu untuk merancang gedung-gedung pencakar langit di masa depan. Paulino juga berperan dalam memajukan bidang tersebut.

Bersama Alok Sutradhar dan Michael Miller dari Ohio State University Medical Center, serta Tam Nguyen dari Department of Civil and Environmental Engineering di University of Illinois, Paulino tengah mempelajari bagaimana membawa optimasi topologi ke dalam ruang operasi.

Dengan kemajuan rekayasa jaringan yang baru ditemukan, Paulino yakin metode ini dapat digunakan untuk merancang kerangka tulang spesifik seperti wajah manusia.

"Gagasannya adalah memiliki teknik yang dirancang khusus bagi pasien tertentu pula," ujarnya. "Ini bukan resep yang cocok untuk semua orang. Manusia memiliki wajah yang berbeda, sehingga Anda tak bisa menyamakan satu solusi untuk semua pasien."
Diambil dari : TEMPO Interaktif, Arlington
Rabu, 20 Juli 2011 | 21:20 WIB
Rekayasa Wajah dengan Matematika
Peluru atau pecahan bom biasanya menjadi penyebab utama cedera pada wajah dan area mulut para korban perang, sipil ataupun militer. Kerusakan yang terjadi kadang begitu parah hingga menghancurkan tulang wajah.

Selama ini dokter bedah memanfaatkan transplantasi tulang untuk merekonstruksi rahang bawah serta jaringan lunak untuk memperbaiki bibir dan pipi. Namun banyak hambatan ketika mereka berusaha memulihkan pasien yang menderita cedera tengkorak dan wajah (craniofacial) berat.

Hal seperti itu juga bisa dialami oleh penderita kanker atau tumor otak. Kerusakan wajah seperti itu tak hanya mengganggu kondisi fisik, tapi juga psikis si pasien.

Apakah pasien bisa mendapatkan wajah normalnya kembali? Atau, ini yang lebih penting, apakah mereka akan memperoleh kembali kemampuan untuk bicara, bernapas, dan makan secara normal.

Menyusun kembali struktur tulang wajah seseorang adalah sebuah prosedur yang rumit. Dokter bedah harus membuat kerangka wajah dengan tulang dari jaringan analog, yaitu bagian lain tubuh yang hampir sama fungsinya, meski struktur dan asal jaringannya berbeda. Hal itu dilakukan untuk menjamin agar organ khusus yang bertanggung jawab atas peran vital, seperti bernapas, melihat, berkomunikasi, dan makan bisa berfungsi sebagaimana mestinya.

Prosedur itu bergantung pada pengalaman dan keahlian sang dokter. Sebab, tak ada struktur tulang yang analog, yang berfungsi sama dengan struktur tulang wajah manusia.

Glaucio Paulino, Direktur Program Mechanics of Materials di National Science Foundation, mencatat prosedur ini tidak selalu menghasilkan apa yang diharapkan.


"Bagian tengah wajah adalah bagian yang paling rumit dari tulang kerangka manusia," kata Paulino. "Yang membuat rekonstruksi lebih kompleks adalah bahwa tulang wajah rapuh, kecil, sangat khusus, dan terletak dalam wilayah yang sangat rentan terhadap kontaminasi bakteri."

Tulang wajah sangat unik. Jaringan tulang yang diekstrak dari bagian tubuh lain, seperti tulang lengan, tidak bisa memberikan hasil paling efektif. "Kondisi pasien mungkin bisa sedikit lebih baik, tapi wajahnya tetap cacat," ujar Paulino.

Namun kini para ahli bedah mencoba menggunakan pendekatan matematika untuk mengatasi masalah tersebut. Optimasi topologi dianggap sebagai alternatif paling masuk akal untuk mencapai pemulihan maksimal.

Optimasi topologi sebenarnya tak pernah digunakan dalam ruang operasi. Metode matematika ini menggunakan beban, tekanan yang diberikan terhadap sebuah area, dan kondisi pembatas atau batas spasial, untuk mengoptimalkan perencanaan sebuah struktur spesifik, seperti bangunan dan kendaraan.

Untuk memahami metode ini, bayangkan Anda membuat sebuah skema bangunan dan harus memutuskan di mana suatu material dapat diletakkan dan tempat mana yang tidak boleh diberi beban tambahan.

Anda juga dapat memberikan beban dan pendukung yang akan mempengaruhi bagian tertentu dari potongan material itu. Hasilnya adalah struktur optimal yang cocok dengan apa yang dibutuhkan.

Metode matematika ini biasa digunakan oleh para ilmuwan untuk merakit pesawat antariksa dan pesawat terbang. Sayap Airbus 380, misalnya, dirancang dengan menerapkan metode optimasi topologi.

Pada saat ini, optimasi topologi mulai dilirik para peneliti dan insinyur yang ingin menerapkan metode itu untuk merancang gedung-gedung pencakar langit di masa depan. Paulino juga berperan dalam memajukan bidang tersebut.

Bersama Alok Sutradhar dan Michael Miller dari Ohio State University Medical Center, serta Tam Nguyen dari Department of Civil and Environmental Engineering di University of Illinois, Paulino tengah mempelajari bagaimana membawa optimasi topologi ke dalam ruang operasi.

Dengan kemajuan rekayasa jaringan yang baru ditemukan, Paulino yakin metode ini dapat digunakan untuk merancang kerangka tulang spesifik seperti wajah manusia.

"Gagasannya adalah memiliki teknik yang dirancang khusus bagi pasien tertentu pula," ujarnya. "Ini bukan resep yang cocok untuk semua orang. Manusia memiliki wajah yang berbeda, sehingga Anda tak bisa menyamakan satu solusi untuk semua pasien."
Diambil dari : TEMPO Interaktif, Arlington
Rabu, 20 Juli 2011 | 21:20 WIB

Kamis, 14 Juli 2011

MENGIKUTI TRAINING GURU OLIMPIADE

Jumat-Ahad, 20-23 Mei 2011, saya mengikuti trainer guru pembimbing olimpiade SD yang diselenggarakan oleh SMP-SMA Insan Cendekia Al Mujtaba bekerja sama dengan Klinik Pendidikan Matematika & IPA (KPM) menyelenggarakan Pelatihan Guru Olimpiade Matematika. Acara yang diselenggaranselama 3 hari tsb, diisi oleh trainer tingkat internasional, yaitu Ir. R. Ridwan Hasan Saputra, M. Si.,. Beliau berasal dari Bogor, sekaligus sebagai Presiden Direktur KPM, Bogor. Pada tahun 2007, beliau memperoleh penghargaan Satya Lencana Wira Karya dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Acara yang diselenggarakan di aula SMP-SMA Insan Cendekia Al Mujtaba ini dihadiri oleh 49 peserta. Jumlah peserta tersebut merupakan hasil seleksian dari 161 peserta pelatihan dari kalangan orangtua dan guru Matematika tingkat SD dan SMP se-Solo Raya dan sekitarnya pada pelatihan tahap awal di hari Selasa, 17 Mei 2011 selama kurang lebih 8 jam.

Training ini bertujuan untuk mencetak para guru olimpiade Matematika tingkat SD dan SMP dengan sistem metode seikhlasnya, tanpa mematok biaya kepada peserta. Antusiasme dari peserta terlihat dari awal hingga akhir acara bersama dengan trainer guru olimpiade Matematika tingkat internasional.
Dalam kegiatan ini, para peserta dihadapkan pada soal - soal olimpiade sekelas OSN, AMC dan EMIC serta soal olimpiade tingkat internsional dan dilatih untuk menyelesaikannya.

Setelah akhir dari training ini akan diadakan post test untuk menyeleksi calon pembimbing olimpiade matematika yang berkualitas.